Terjemahkan dalam bahasa asing

Rabu, 06 Februari 2013

Ingin Pulang



Ketika aku beranjak dewasa, aku memutuskan mengadu nasib menuju Ibu Kota.
Sebuah pengalaman meninggalkan tempat ternyaman di dunia ini, rumah orang tua.
Terlebih lagi buatku yang anak mama ini, ini pertama kalinya aku pergi meniinggalkan rumah untuk  waktu yang  cukup lama.
Aku ingin membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku mampu hidup mandiri.

Hari berganti bulan, dan dua tahun telah ku jalani hidup sendiri di ibu kota.
Aku mulai betah, seolah terlupakan tentang sebuah rumah yang membesarkanku.
Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seorang gadis, yang kini telah menjadi ibu dari anak-anaku. Sehingga membuatku semakin betah tinggal di tempat yang baru ini.

Perasaan rindu yang sedikit-demi sedikit ternyata mulai memenuhi isi dalam hatiku.
Aku ingin pulang.
Pulang ke rumah orang tuaku, di mana aku dibesarkan.

Akhirnya kerinduanku terobati.
Aku pulang.



Pernahkah kau merasakan perasaan ingin pulang?
Setiap orang di dunia ini pasti pernah merasakannya, cerita di atas menceritakan tentang keinginan seseorang untuk pulang ke rumah orang tuanya. Tempat di mana ia berasal dan dibesarkan.

Seorang anak kecil yang sedang berada di sekolah, kadang merindukan suasana rumah karena merasa jenuh di sekolah.

Bahkan suasana kantor apabila mendekati jam pulang kantor  juga membuat kita merasa semakin ingin segera pulang.

Perasaan ingin pulang, adalah salah satu sifat dasar manusia yang jarang banyak disadari.
Tanpa sadar, kita selalu ingin pulang. Pulang ke rumah adalah sebuah contoh kecil dari perasaan ingin pulang.

Tahukan kau, bahwa setiap manusia memiliki rasa ingin pulang yang paling besar?
Ya, Manusia memiliki perasaan ingin pulang yang terbesar adalah rasa ingin pulang kepada-Nya.

Aku Belajar Tumbuh

Pagi itu ku buka mata menatap mentari yang terasa hangat menyinari kulitku yang masih biru karena dinginnya pagi.

Mataku terarah pada lampu terbesar yang menerangi dunia ini. Ingin ku menggapainya, walau mataku terasa sayub tuk menatapnya. Juga, kaki ini tak kuasa beranjak dari pangkuannya.

Perlahan namun pasti, aku belajar berjalan dan turun dari pangkuannya, seperti apa yang tlah beliau ajarkan.

Aku belajar tumbuh.

Ku mulai berjalan dengan kedua kaki ku. Meski tertatih, dengan senang hati mereka memapah ku.

Raut wajah mereka yang tampak bahagia melihatku mampu berjalan, dapat ku rasakan.

Pukul 7 pagi, sarapan telah tersedia di meja makan, sepiring bubur dengan telur rebus diatasnya. Sarapan pagi itu membuatku bertenaga untuk menjalani aktivitas sekolah pertamaku, taman kanak-kanak.

Di tempat itu aku belajar dunia baru, bermain dan belajar.

Aku belajar tumbuh.

Dari seragam kotak-kotak dengan dasi kupu-kupu, kemudian berseragam putih merah, lalu aku mengenakan seragam putih biru.

Hari beranjak siang. Panasnya terik matahari membuatku silau melihat semakin terang sinarnya.

Aku tak henti belajar, semakin hari semakin tebal buku yang harus ku pelajari di sekolah, dengan ukuran tulisan yang semakin kecil, semakin membuatku berat untuk membuka dan mempelajari isi halamannya.

Teringat masa kecilku aku belajar dengan buku bergambar yang tak banyak hurufnya, dan berwarna-warni.

Sesaat ku tutup buku itu, dan kulihat dunia di sekelilingku, aku tahu gambar-gambar yang ada di buku masa kecilku kini berada di luar buku, berada di dunia nyata.  

Kucoba memahami apa yang ada di dunia ini.

Aku belajar tumbuh.

Tak terasa, telah banyak waktu yang ku habiskan untuk belajar di bangku sekolah. 

Hingga tiba waktunya mereka mendampingiku merayakan kelulusan di perguruan tinggi, wisuda.

Sinar mentari mulai menguning, hari telah senja.

Aku masih belajar tumbuh. 

Kini aku mulai belajar membangun kehidupan yang baru.

Aku masih ingat ketika mereka menyiapkan sarapan pagi untuku, mengajarkan segalanya menghadapi kehidupan. 

Kini giliranku mengajarkan pada generasi selanjutku.
 
Terimakasih ku ucapkan untuk mereka yang telah mengajarkan ku tumbuh.